Waspada Toxic Positivity, Positive Vibes yang Membawa Bencana

Toxic Positivity
Toxic Positivity

Pernahkah Anda mendengar istilah toxic positivity? Sebelumnya, jawab dulu pertanyaan berikut ini.

Apakah kamu merasa jika orang-orang yang selalu berpikir positif merupakan orang-orang yang kuat? Pada waktu-waktu sulit, Anda juga mungkin berpikir jika berpikir positif adalah satu-satunya solusi dari masalah Anda. 

Stay positive, always have positive vibe mungkin menjadi kalimat yang paling sering memotivasi Anda ketika sedang bersedih atau menghadapi masalah.

Namun, sadarkah Anda jika “selalu positif” justru berdampak negatif? Nah, hal inilah yang disebut Toxic Positivity. Sederhananya, Toxic Positivity merupakan obsesi terhadap “positive thinking”, keyakinan bahwa setiap hal haruslah dimaknai sebagai hal yang positif. 

Tanpa sadar, adanya mindset “positive vibe only” ini justru membuat Anda menolak atau tidak mengakui adanya perasaan-perasaan selain bersemangat, positif, ceria, dan produktif.

Berpikir positif yang berinteraksi dengan dukungan sosial dan self-efficacy memang memiliki dampak positif untuk kesejahteraan psikologis Anda. 

Namun, realitanya hidup tidak selalu tentang hal yang positif. Perasaan yang mampu dirasakan manusia pun sangat luas, tidak hanya berisi kebahagiaan dan perasaan positif saja.

Dampaknya Jika Positif Tapi Kebablasan

Bukannya menyelesaikan masalah, Toxic Positivity justru mendatangkan masalah baru dalam kehidupan Anda yang mungkin tidak Anda sadari. 

Toxic Positivity berarti Anda menyembunyikan perasaan Anda yang sebenarnya, hingga kadangkala merasa bersalah atas perasaan negatif yang timbul. 

Anda juga mungkin memberikan saran yang justru tidak membantu untuk orang lain, misalnya menyemangati orang lain untuk tetap bersyukur saat sedang berduka.

  • Mengabaikan bahaya yang sesungguhnya: Sebuah narrative review pada 2020 menunjukkan jika bias positif justru mengakibatkan orang lebih mungkin mengalami kekerasan karena meremehkan dampak dan tingkat keparahan dari kekerasan dalam hubungan.

    Optimisme, harapan, dan sikap memaafkan justru meningkatkan risiko korban kekerasan dalam hubungan terus bertahan dalam hubungan yang merugikannya.

  • Merasa bersalah dan menghambat perkembangan pribadi: Toxic Positivity memungkinkan seseorang mengalami rasa bersalah ketika merasa sedih atau kecewa atas tragedi dan kejadian buruk lainnya.

    Hal ini karena mereka merasa seharusnya mereka merasa selalu positif dalam segala situasi.

  • Menghambat perkembangan pribadi: Toxic Positivity berarti individu tersebut mengabaikan dan menghindari perasaan negatif.

    Sehingga, mereka juga tidak belajar caranya menghadapi perasaan negatif yang sebenarnya bermanfaat bagi perkembangan dan munculnya insight pribadi.

  • Emosi yang tidak bisa diekspresikan: Menyembunyikan atau menghindari perasaan yang sebenarnya Anda rasakan justru memicu stres pada tubuh dan kesulitan untuk mengenali perasaan itu sendiri.

    Perasaaan negatif Anda memang tidak muncul ke permukaan, namun perasaan tersebut justru merusak Anda dari dalam. 

Menghindari Toxic Positivity

Hal pertama yang perlu Anda lakukan untuk menghindari Toxic Positivity adalah dengan menyadari bahwa hidup tidak selalu tentang hal yang positif dan baik serta menyadari jika tidak apa-apa untuk merasakan berbagai perasaan negatif. Kenali bentuk Toxic Positivity yang tanpa sadar sering Anda lakukan.

Anda perlu belajar mengelola emosi negatif, bukan mengabaikan emosi negatif Anda. Berikan kesempatan dan waktu untuk diri Anda merasakan setiap perasaan, yang Anda anggap negatif dan sulit sekalipun. 

Ada kalanya, perasaan negatif justru merupakan perasaan yang nyata, valid, dan penting, misalnya memberi informasi dan membantu Anda menghadapi situasi. Anda juga dapat memahami apa yang harus Anda ubah atau perbaiki dari diri atau hidup Anda.

Jadilah realistis atas apa yang Anda rasakan. Sangat normal untuk merasa kecewa, sedih, dan cemas. Justru yang akan menjadi masalah adalah jika Anda tidak bisa mengekspresikan atau tidak mengakui perasaan sebanyak yang Anda rasakan.

Berhati-hatilah dengan media sosial yang Anda ikuti. Jika Anda merasa bersalah atau malu setelah melihat postingan berisi motivasi dari mereka, mungkin saja ini merupakan bentuk Toxic Positivity. Pertimbangkan untuk membatasi waktu Anda terhadap media sosial.

Toxic Positivity yang Anda lakukan untuk diri Anda sendiri juga mungkin saja Anda sampaikan pada orang lain. Jika Anda seringkali mendengar cerita sedih dan kehilangan dari orang lain, Anda perlu memahami cara menjadi pendengar yang berempati dan menvalidasi perasaan mereka, bukan untuk memaksa mereka menemukan hal positif dari situasi buruk mereka.

Ganti Kalimat Motivasi Anda

Kalimat berisi Toxic Positivity

  •  Just Stay Positive
  • Good vibes only
  •  Lihat hal positif yang dari masalah ini
  •  Setiap hal terjadi karena suatu alasan
  • Mungkin saja situasi ini dapat menjadi lebih buruk

Ganti dengan

  • Oke, saya mendengarkan sekarang
  • Tidak apa-apa, aku selalu ada di sini untukmu apapun yang terjadi
  • Aku mencoba mengerti, ceritakan padaku, aku ada di sini
  • Kadangkala sesuatu memang terjadi tidak sesuai dengan keinginan kita, apa yang bisa ku lakukan untukmu?
  • Aku turut bersimpati untukmu